Ketika ustadz dan dai menjadi selebritis, apa yang terjadi?
Tidak diragukan lagi bahwa berdakwah kepada Allah -Subhanahu wa ta’ala- adalah termasuk amal yang paling mulia, yang paling agung pahalanya di sisi Allah -Subhanahu wa ta’ala-. Terutama jika pelakunya tidak mengambil balasan karenanya karena mencontoh para Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-. Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah mengabarkan kepada kita tentang perkataan di antara mereka:
يَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?” (QS. Huud: 51)
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (١٠٩)
“Dan Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (QS. Asy-Syu’ara`: 109)
Akan tetapi jika da’i tersebut benar-benar mencurahkan waktu dan tenaganya untuk dakwah, maka tidak mengapa dia mengambil upah darinya. Dan memungkinkan baginya untuk menentukan imbalan atas jasanya yang zhahir, seperti pembelian kitab, menyiapkan makalah, transportasi, akomodasi dan lain-lain, atau orang lain yang menentukan imbalannya
So adakah yang salah dengan Dai seleb?
Tidak diragukan lagi bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, dan mudah terperdaya oleh tipu daya setan. Setan tidak akan pernah bosan dan putus asa untuk menjerumuskan manusia kedalam neraka. Tak terkecuali seorang yang dipandang alim, baik, shaleh dst. Setan akan selalu ada dan akan terus menggodanya.
Begitu pula yang terjadi dengan para dai-dai kondang kita, yang mungkin sudah sangat dikenal oleh seluruh masyarakat Indonesia, dari inisial ustadz A hingga ust Z, disaat mereka dituntut untuk senantisa mendakwahkan yang haq, namun disisi lain karena godaan yang terus menggelayuti dan selalu menggoda, kebatilanpun tak bisa luput darinya, bahkan sudah menyatu dan menjadi kesatuan yang tak bisa dipisahkan meskipun hal tersebut telah terpapar dimata mereka, dan yang lebih heboh lagi. Kebatihan tersebut menjadi gaya hidup mereka, sadar ataupun tidak disadari.
Berikut sedikit pemaparannya dari sisi lain ketika ustadz kondang berubah menjadi artis dan selebritis:
1, Gaya hidup yang berubah hegemoni
Bukan cerita baru lagi disaat seorang ustadz ‘kampung’ berubah titel menjadi ustadz kondang, atau ustadz seleb. Tak sedikit dari mereka yang mengubah gaya hidupnya yang katanya menyesuaikan dengan keadaan dan lingkungan. Mereka bangga dengan kemewahan, padahal dalam setiap ceramahnya menyanjung arti kesederhanaan.
Yang membuat resah adalah munculnya dai-dai selebritis yang jauh dari kualitas keulamaan. Bukan hanya kualitas keilmuan agamanya yang di bawah standar pas-pasan, tapi juga karena komersialisasi dakwah dan perangai buruk yang diperagakan. Sehingga hal itu bukan mendukung misi dakwahnya, tapi justru menghancurkan nilai-nilai Islam yang didakwahkan. Kondisi semacam ini tentu sangat berbahaya, karena bisa melahirkan sikap apatis bahkan kebencian terhadap agama.
Akan tetapi memang begitulah kenyataannya, disaat kedudukan mulai naik keatas, maka duitlah yang banyak bicara. Ustadz kampung yang dulunya biasa berdakwah dengan ‘onthel’ namun ustadz seleb dengan keadaan sekarang bak selebritas papan atas, sudah berubah naik moge, mobil kinyis bin kinclong, pesawat terbang eksekutif, hotel bintang 7, dst.
Dan lantaran ingin memenuhi selera pasar, penampilan sang ustadz pun dipermak layaknya seorang artis. Pakaiannya jadi trendsetter, banyak para jama’ah yang berupaya mengikuti semua gaya dan penampilannya, dari baju gamis, kacamata, jilbab, sampai sepatu. Bahkan naik podium/mimbarpun pakai kacamata hitam.. Subhanallah..
Saat muncul di infotainment, bukan nilai-nilai agama atau pengalaman mereka belajar agama yang menjadi topik wawancara, melainkan tentang rumah baru, mobil baru, koleksi sepatu baru, sampai motor gede seharga ratusan juta rupiah. Bahkan kehidupan pribadi mereka pun diekspos seluas-luasnya. Lebih memprihatinkan lagi, sang dai tak malu-malu menonton bioskop berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya di tengah sorotan kamera. Innalillahi….
Tak hanya sampai disitu, ustadz atau ustadzah pun yang jadi bintang iklan, cenderung dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan dari popularitas keustadzannya. Mereka pikir, ustadz dan ustadzah punya pengikut, jama’ah, atau bahkan fans, jadi yang diincar itu bukan ustadznya, tapi yang berada di belakang ustadz itu. Kemudian, makin terkenallah ustadz dan ustadzah ini, diundang ceramah ke berbagai daerah dan kota seluruh Indonesia, sampai ke luar negeri.
Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok. Bahkan pada saatnya, sang ustadz melalui manajernya boleh mengajukan tarif tertentu kepada panitia penyelenggara atau tidak jadi sama sekali. Maklum, permintaan tinggi, harga juga bisa ditinggikan. Gigit jarilah para pengurus masjid di kampung-kampung, di desa-desa, dan di berbagai pelosok negeri yang nyata-nyata tidak sanggup menyediakan uang transpor dan akomodasi yang memadai saat harus mengundang ustadz kondang ini berceramah di masjidnya. Sebab, kelas ustadz ini memang bukan lagi di masjid-masjid kecil, di kampung-kampung nan becek, melainkan di masjid besar, dan hotel.
2, Memasang tarif tinggi ‘Mo ngundang ane, WANI PIRO?’:
Sebenarnya poin pertama yang saya sebutkan diatas bukanlah merupakan sebuah hal yang perlu dibesar-besarkan, mungkin banyak pembaca yang agak sedikit sinis sambil berujar: “apa urusan ent? Ent iri sama mereka?” atau bahkan mungkin juga: “ent kenapa gitu? Emang bid’ah ya?” dan lain sebagainya.
Kisah Nyata:
Disaat panitia masjid didekat rumah saya (Ane Ari Suharyadi) mengadakan sebuah pengajian akbar, tanpa filter dan penyaring gigi dan lidah, seorang dai, padahal masih dai kampong ini, disela-sela ceramahnya berkata (kurang lebih begini):
Dai: “Bapak-bapak, ibu-ibu jika Jupe manggung 15 menit aja dibayar 30 juta, maka saya gak mau kalah ni, jadi ceramahnya sebentar saja ya, karena sedikit bayarannya”.
Innalillah.. ada juga info lain, tapi buka dari saya:
Ummat: “Ustadz Ganteng, mohon maaf, berapa ya kami perlu ganti untuk transportasi?”
Ustadz Ganteng: “Untuk administrasi aja ya, sediakan aja 30 juta, 10 juta dibayar di depan ke account saya. O ya, kalo nggak jadi DP-nya angus ya..”
Di jejaring sosial Multiply atau tepatnya thetrueideas, seseorang menulis: “…….dulu pernah menjadi bagian dari “dakwah jutawan” semacam ini, contohnya ingin mendatangkan seorang dai dari bandung, mungkin hampir 100 jutaan, alasannya sich mereka punya kantor, punya anak buah yang harus dibiayain, uang hotelnya (minta hotel yang bagus/mahal), dan saat kita minta datang sendiri atau paling tidak minimal dengan beberapa orang saja maka bagian agennya bilang tidak bisa karena harus datang dengan rombongan, karena tidak ada dananya maka yang begitu itu tidak jadi dilakukan.
Pernah denger juga cerita, jadi di kampus saya pernah mau datangi seorang ustadz. Bliau bersedia asal dibayar minimal 40 juta.
Saya tak habis pikir bagaimana bisa seorang dai, ulama, ustadz, kiyai, atau apapun itu namanya, memasang tarif puluhan juta rupiah untuk setiap kali memberikan ceramah?! Jika bayaran yang diberikan kurang dari harga yang dipatok, sang dai tak mau memberikan ceramah. Belum lagi, dai tersebut juga seperti selebritis yang memiliki manajer, sehingga konsultasi keagamaan dan lain sebagainya harus melalui manajer tersebut.
Dengan demikian, ikatan antara dai dengan umat seperti ikatan bisnisman dengan pelanggannya, bukan seperti ikatan antara orang tua dan anak, guru dan murid, atau bahkan antara Nabi Muhammad dan para sahabat. Dakwah kemudian bukan menjadi kewajiban atau amanah yang harus dijalankan dengan keikhlasan, tapi justru dijadikan alat untuk mendulang uang. Karunia Allah yang menjadikan mereka diterima masyarakat justru dimanfaatkan untuk mendulang popularitas. Mereka pun kemudian jadi artis dadakan. Subhanallah…
Semua untuk dijadikan pelajaran.
Rasulullah bersabda: ‘Bacalah Alquran dan niatkanlah hanya untuk Allah, sebelum datang sekelompok orang yang membaca Alquran lalu dia jadikan Alquran sebagai alat untuk meminta-minta harta.’ (H.R. Ahmad, dan lain-lain; sahih, sebagaimana dalam Shahih Al-Jami Ash-Shaghir, no. 1169)
Al-Minawi, dalam Faydh al-Qadîr, mengatakan, “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama sû’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.” [Al-Minawi, Faydh al-Qadîr, VI/369.]
Bagi para ustadz seleb, janganlah kalian memberikan syarat upah yang besar di atas kemampuan panitia sebagai balasan dari muhadharah atau ceramah yang telah disampaikan, terutama jika kalian memiliki gaji bulanan yang aman untuk hidup mulia. Sekali lagi saya nasihatkan untuk tidak mahal di dalam mengambil upah, dan ambillah yang masuk akal, sekalipun yang utama adalah sukarela, jika dia mampu. Wallahu a’lam
Ditulis oleh: Ari Suharyadi dari berbagai sumber.