Menjadi wartawan apakah harus sarjana jurnalistik? Belum tentu. Sebab, hanya saja yang mensyaratkan gelar sarjana jurnalistik saat membuka lowongan kerja bagi wartawan baru.
Bahkan, media sebesar suratkabar Kompas, majalah Tempo, atau stasiun Metro TV tidak pernah menyebutkan syarat sarjana jurnalistik; yang penting sarjana, biasanya S1, dari fakultas apapun. Sebagian besar wartawan media, mulai tingkat reporter hingga redaktur, bukan sarjana jurnalistik. Titel mereka dari berbagai disiplin ilmu, mulai sarjana ekonomi hingga sarjana teknik.
TubagusNews-Media di negara-negara barat justru tidak terlalu peduli dengan embel-embel sarjana. Media raksasa multi-format, National Geographic [NG], berani membayar puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk satu liputan mendalam yang dikerjakan kontributor — wartawan freelance yang tidak terikat sama sekali dengan NG — tanpa mensyaratkan kontributor harus sarjana; yang penting adalah karyanya, bukan deretan gelar akademisnya.
Berikut adalah delapan syarat menjadi wartawan. Nomor 1 sampai 6 disarikan dari buku Menggebrak dunia wartawan [1993, Kurniawan Junaedhie] ditambah pengalaman
1. Tidak alergi terhadap teknologi. Wartawan zaman sekarang harus fasih memakai email untuk mengirim berita, alat perekam suara, kamera foto atau video, dan mencari referensi lewat Internet.
2. Punya naluri-ingin-tahu yang tinggi dan bukan penakut. Lebih bagus lagi kalau bernaluri sebagai detektif. Wartawan sering diancam karena tulisannya, tapi jangan lantas berhenti menulis.
3. Menguasai bahasa. Tentu saja yang terutama adalah bahasa Indonesia. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mampu menulis secara jelas, melainkan berputar-putar dengan “bahasa langit”, bahkan beberapa di antaranya adalah “wartawan senior” yang sudah 20-30 tahun bekerja.
4. Santun dan tahu etika. Aku kerap melihat wartawan yang memaksa masuk ke ruangan pejabat dan langsung duduk padahal si pejabat sebenarnya belum bersedia menerima karena masih ada tamu atau pekerjaannya yang lain. Ada juga wartawan yang mewawancarai narasumber dengan bahasa memaksa, mendesak bagai polisi. Boleh saja meliput peristiwa seperti demo atau lomba tarik tambang dengan memakai celana pendek, tapi jangan berkaus oblong saat meliput sidang pengadilan atau masuk ke kamar kerja gubernur.
5. Disiplin pada waktu. Wartawan tidak boleh menulis berdasarkan mood seperti halnya seniman, karena redaksi dibatasi deadline untuk menerbitkan berita. Sering wartawan-magang gagal diterima karena selalu telat menyetor berita. Bila kau tergantung pada mood, maka pilihlah menjadi wartawan lepas atau bloger.
6. Berwawasan luas. Untuk hal ini, sejak dulu aku sepakat bahwa penulis yang baik harus lebih dulu menjadi pembaca yang baik. Banyak wartawan daerah yang tidak mau membaca media nasional, buku-buku populer, atau mengorek isi Internet; mereka hanya membaca korannya sendiri, itupun cuma untuk melihat “beritaku terbit nggak, nih.”
7. Jujur dan independen. Memangnya ada wartawan yang tidak jujur? Banyak, terutama di daerah. Berita bisa direkayasa sesuai pesanan narasumber. Seratusan orang demo bisa muncul di koran sebagai seribuan orang. Bupati diadukan korupsi, berita yang muncul menjadi “Ada LSM yang ingin membuat rusuh Tobasa.”
Memangnya ada wartawan tidak independen? Ini paling banyak, bahkan di Jakarta sekalipun. Harian terbesar Amerika, Washington Post, menetapkan syarat bagi wartawannya: “Lepaskan dulu jabatanmu di parpol, baru bergabung dengan koran ini.” Di Balige, kabupaten lain, Medan, provinsi lain, kujamin banyak wartawan yang aktif di partai politik.
8. Memperlakukan profesi wartawan bukan semata-mata demi uang. Profesi kuli-tinta sering disandingkan dengan seniman. Ia adalah sosok idealis, yang bekerja tidak melulu karena gaji tinggi. Pengacara bisa saja menolak bekerja kalau kliennya tidak mampu membayar tarif sekian rupiah. Aku sering menemukan wartawan yang tidak mau menulis karena narasumbernya tidak memberikan uang seperti diminta si wartawan.
“Dia minta dua juta supaya beritanya terbit di halaman satu. Aku tidak punya uang sebanyak itu, ya sudah, mending kukasih Rp100 ribu ke wartawan mingguan, terbit di halaman dalam pun tidak apa-apa,” kata seorang anggota DPRD padaku suatu ketika. Jangan kaget bila pejabat dan pengusaha di daerah sering berkata, “Lae, bayar berapa untuk menerbitkan berita jadi headline?” Dan jangan kaget pula bahwa pertanyaan itu justru ditujukan pada wartawan koran-koran harian beroplah besar.
Dari 12 syarat yang tercantum pada buku Kurniawan Junaedhie, tidak ada satu pun menyinggung titel kesarjanaan. Pada 50 lebih buku jurnalisme yang pernah kubaca, titel sarjana jurnalistik juga tidak pernah disebut sebagai salah satu syarat menjadi wartawan. Mungkin bagi orang awam hal ini akan terdengar ganjil. Tapi begitulah yang terjadi di media pers: Yang dicari adalah orang yang mampu menulis, bukan orang yang pernah kuliah jurnalisme.
Jadi, kalau kau adalah seorang sarjana yang baru tamat tapi bukan dari program jurnalistik, kau tetap punya peluang besar jadi wartawan. Lihatlah lowongan di media-media lokal maupun nasional. Bahkan bila kau bukan sarjana, kau pun tetap bisa jadi wartawan, walaupun peluangnya lebih kecil. Pengalaman pribadiku di bawah ini mungkin bisa memberimu semangat dan inspirasi.
Pada 1999 aku memasukkan lamaran ke harian Medan Ekspres — kini bernama Sumut Pos — koran milik Jawa Pos. Aku tahu koran itu mensyaratkan sarjana, tapi aku nekat. Sekretaris redaksi yang menerima berkas lamaranku berkata, “Nanti kusampaikan, bang, tapi sebenarnya harus sarjana, lho.” Kujawab: “Aku tahu. Tapi sampaikan saja dulu sama Pemred.”
Beberapa hari kemudian aku bertemu dengan pemimpin redaksinya, Abdul Haris Nasution — kalau aku tidak lupa namanya — yang pernah bekerja di majalah Tempo. Sore itu, di kantor redaksi, dia membuka-buka berkas lamaranku. Dia memelototi sejumlah contoh beritaku yang pernah terbit di koran-koran tempatku bekerja sejak 1995. “Ini foto-foto jepretanmu sendiri?” katanya, menunjuk beberapa gambar bentrok Brimob dengan warga Balige yang demo menolak PT Indorayon; antara lain foto seorang Brimob sedang mengarahkan senjata pada seorang warga yang berlindung di balik papan di depan kedainya, dan foto warga lain yang jemarinya putus ditembak Brimob.
“Benar, fotoku sendiri,” jawabku.
“Kami pakai dulu foto ini, ya,” katanya lagi, lalu memanggil tiga orang redaktur, yaitu Syaiful Ishak [kini petinggi di kantor Graha Pena Medan], Yulhasni, dan satu lagi aku tidak ingat. “Bagaimana anak ini menurut kalian? Aku suka, aku ingin dia bekerja di koran kita. Tapi dia bukan sarjana,” kata Nasution.
Akhirnya aku diterima, dengan syarat: Aku harus mengirim minimal tiga berita setiap hari dari Balige, dan beritaku harus layak jadi berita utama di halaman daerah, bahkan aku mesti berusaha menembus halaman satu. Enam bulan masa magang berlalu, aku lolos. Bahkan tidak lama kemudian, pemred berikutnya, Choking Susilo Shakeh, mempromosikanku menjadi redaktur.
Terkadang, pada minggu-minggu pertama, aku merasa minder dan “tidak nyaman” di kantor karena kawan-kawanku redaktur adalah sarjana. Tapi mereka teman-teman yang baik dan peduli. Singkat cerita, kemudian aku harus mengundurkan diri dari jabatan redaktur karena pindah domisili ke Palembang. Setelah itu aku bekerja di beberapa koran, majalah, dan menjadi stringer untuk Biro Foto Antara, sebelum mengundurkan diri dari koran terakhir, Harian Global, lalu pada Maret 2007 menjadi penulis web mengelola Blog Berita ini.
“Tunjukkan pada dunia APA yang bisa kaulakukan, bukan SIAPA kau.”
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 1966
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah manifestasi daripada perjuangan seluruh bangsa Indonesia untuk mengemban Amanat Penderitaan Rakyat;
b. bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan yang aktif dan kreatif daripada penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan Demokrasi Pancasila;
c. bahwa sesuai dengan asas-asas Demokrasi Pancasila, pembinaan Pers ada di tangan Pemerintah bersama-sama dengan Perwakilan Pers;
d. bahwa Pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa;
e. bahwa Pers Indonesia merupakan pengawal revolusi yang membawa dharma untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara aktif dan kreatif;
f. bahwa perlu adanya Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang menjamin kedudukan hukum persuratkabaran dan kewartawanan, agar Pers Nasional dapat memenuhi fungsi yang sebaik-baiknya, menuju terwujudnya Pers Sosialis Pancasila.
Mengingat:
1. Pembukaan beserta pasal-pasal 28 dan 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Keputusan Sidang Pleno Komite Nasional Pusat 15 Desember 1949 tentang Perlindungan kepada Pers;
3. Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 Lampiran A tentang Penerangan Massa;
4. Ketetapan M.P.R.S. No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers;
5. Pasal 5 jo pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.
MEMUTUSKAN :
I. Mencabut:
a. Penpres No. 6/1963 tentang Pembinaan Pers;
b. Segala Peraturan Perundangan yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
II. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS.
BAB I.
KETENTUAN UMUM
Pasal 1.
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
(1) Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat tehnik lainnya.
(2) Perusahaan Pers ialah perusahaan surat-khabar harian,penerbitan berkala, kantor berita, bulletin dan lain-lain seperti yang tersebut ayat 6, 7 dan 8 dalam pasal ini.
(3) Kewartawanan ialah pekerjaan/kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio televisi dan film.
(4) Wartawan ialah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan seperti yang dimaksudkan dalam ayat 3 pasal ini secara kontinu.
(5) Organisasi Pers ialah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers yang disahkan oleh Pemerintah.
(6) Kantor Berita adalah pusat pengumpulan dan penyebaran berita bahan-bahan informasi dan karangan-karangan guna melayani harian, penerbitan berkala, siaran-siaran radio, televisi, instansi-instansi Pemerintah, badan umum dan swasta lainnya yang usahanya meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia dalam tata-pergaulan dunia.
(7) Surat kabar Harian ialah penerbitan setiap hari atau sekurang-kurangnya enam kali dalam seminggu.
(8) Penerbitan Berkala ialah penerbitan lainnya yang diterbitkan dalam jangka waktu tertentu, sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
(9) Surat-kabar/berkala Pemerintah ialah surat kabar/berkala yang didirikan atas inisiatif dan yang dibiayai oleh Pemerintah.
(10) Pemerintah dalam Undang-undang ini adalah enteri Penerangan, kecuali dalam pasal 6 ayat (3) dan ayat (5) dan pasal 9 ayat (2) dan ayat (3).
BAB II.
FUNGSI, KEWAJIBAN DAN HAK PERS.
Pasal 2.
(1) Pers Nasional adalah alat revolusi dan merupakan mass-media yang bersifat aktif, dinamis kreatif, edukatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan progresip meliputi segala perwujudan kehidupan dan penghidupan masyarakat Indonesia.
(2) Pers Nasional berkewajiban:
a. mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen.
b. Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat, berlandaskan Demokrasi Pancasila.
c. memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers.
d. membina persatuan dan kekuatan-kekuatan prograsif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan fasisme/diktatur.
e. menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif dan prograsif revolusioner.
Pasal 3.
Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif.
Pasal 4.
Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan.
Pasal 5.
(1) Kebebasan Pers sesuai dengan hak azasi warga negara di jamin.
(2) Kebebasan Pers ini didasarkan atas tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini.
BAB III.
DEWAN PERS.
Pasal 6.
(1) Untuk mendampingi Pemerintah dalam bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional, dibentuk Dewan Pers.
(2) Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers.
(3) Syarat-syarat organisasi pers yang dapat mengirimkan wakil- wakilnya dalam dewan Pers, jumlah anggota dan syarat-syarat keanggotaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Penetapan anggota-anggota ahli dalam bidang pers dan tambahan keanggotaan diputuskan oleh Pemerintah bersama-sama dengan anggota yang mewakili organisasi pers.
(5) Keanggotaan dalam Dewan Pers disahkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7.
(1) Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan.
(2) Pimpinan Harian Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota- anggota Dewan Pers.
(3) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Dewan Pers, cara-cara bekerjanya, cara-cara penggantian lowongan dalam Dewan Pers dan sebagainya ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers.
BAB IV.
HAK PENERBITAN DAN FASILITAS PERS.
Pasal 8.
(1) Setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekat Demokrasi Pancasila.
(2) Untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit.
Pasal 9.
(1) Untuk menyempurnakan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri badan-badan Pers kolektif dapat mendirikan kantor berita.
(2) Pemerintah dapat mendirikan sebuah kantor berita.
(3) Hal-hal yang menyangkut persoalan kantor berita diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10.
(1) Jika dianggap perlu Pemerintah Pusat dapat menerbitkan sebanyak-banyaknya satu Harian dalam bahasa Indonesia dan satu Harian dalam tiap bahasa asing yang dianggap perlu.
(2) Pemerintah dapat menerbitkan penerbitan berkala yang bersifat informatoris dan keahlian.
Pasal 11.
Penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila seperti halnya yang bertolak dari paham Komunisme/Marxisme-Leninisme dilarang.
Pasal 12.
Jika dianggap perlu, Pemerintah memberikan bantuan kepada Pers Nasional berupa fasilitas-fasilitas untuk terjaminnya kehidupan dan penghidupan pers.
BAB V.
PERUSAHAAN PERS.
Pasal 13.
(1) Penerbitan Pers harus diselenggarakan oleh Perusahaan Pers berbentuk badan hukum yang mengutamakan sifat-sifat idiil, diatur secara gotong-royong kekeluargaan terpimpin, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar pasal 33.
(2) Modal Perusahaan Pers harus seluruhnya modal nasional, sedang pendiri-pendiri dan pengurusnya harus seluruhnya warga negara Indonesia.
(3) Perusahaan Pers dilarang memberikan atau menerima jasa/ bantuan/sumbangan kepada/dari pihak asing, kecuali dengan persetujuan Pemerintah setelah mendengar Dewan Pers.
(4) Perusahaan Pers diwajibkan menjadi anggota Organisasi Perusahaan Pers.
Pasal 14.
(1) Pimpinan sesuatu penerbitan Pers terdiri atas Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan.
(2) Yang dapat memegang pimpinan sesuatu penerbitan Pers, baik Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi ataupun Pimpinan Perusahaan, seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah orang-orang yang tidak pernah tersangkut dalam aksi-aksi kontra revolusi.
(3) Pimpinan dan susunan perusahaan dalam keseluruhannya harus bersifat kekeluargaan terpimpin antara karyawan pengusaha, karyawan wartawan, karyawan administrasi/tehnik dan karyawan pers lainnya.
(4) Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan harus memahami benar-benar kedudukan dan fungsi Pers seperti yang dimaksud dalam 2 dan pasal 3 Undang-undang ini.
(5) Syarat-syarat lain untuk menjadi Pemimpin Umum, pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan diatur oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers.
Pasal 15.
(1) Pemimpin Umum bertanggung jawab atas keseluruhan penerbitan baik ke dalam maupun ke luar.
(2) Pertanggunganjawab Pemimpin Umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada Pemimpin Redaksi mengenai isi penerbitan (redaksionil) dan kepada Pemimpin Perusahaan mengenai soal-soal perusahaan.
(3) Pemimpin Redaksi bertanggung jawab atas pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani hak jawab dan koreksi.
(4) Pemimpin Redaksi dapat memindahkan pertanggungan-jawabnya terhadap hukum mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang bersangkutan.
(5) Dalam mempertanggungjawabkan sesuatu tulisan terhadap hukum, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi, Anggota Redaksi atau Penulisnya mempunyai hak tolak.
BAB VI.
WARTAWAN.
Pasal 16.
(1) Syarat-syarat untuk menjadi Wartawan ialah:
a. warga negara Indonesia,
b. memahami sepenuhnya kedudukan, fungsi dan kewajiban pers sebagai tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini,
c. berjiwa Pancasila dan tidak pernah berkhianat terhadap revolusi,
d. memiliki kecakapan, pengalaman pendidikan, akhlak tinggi dan pertanggunganjawab.
(2) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai Wartawan ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers.
BAB VII.
PERS DAN WARTAWAN ASING.
Pasal 17.
(1) Perusahaan Pers Asing tidak dibenarkan didirikan di dalam wilayah Republik Indonesia.
(2) Dengan izin Pemerintah pers asing dapat beredar di Indonesia.
(3) Pemerintah melarang masuk dan beredarnya pers asing yang merugikan atau membahayakan masyarakat, negara dan revolusi Indonesia.
(4) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai pers asing di Indonesia diatur oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers.
(5) Perwakilan Kantor Berita Asing dapat didirikan di Indonesia setelah mendapat izin dari Pemerintah.
(6) Perwakilan Kantor Berita Asing dan penerbitan asing di Indonesia harus terdaftar pada Pemerintah dan Dewan Pers.
Pasal 18.
(1) Wartawan asing dapat melakukan pekerjaan kewartawanan di Indonesia dengan syarat :
a. mewakili suatu perusahaan pers diluar negeri,
b. tidak memusuhi revolusi Indonesia,
c. disahkan oleh Pemerintah dan terdaftar pada Dewan Pers.
(2) Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai wartawan asing diatur oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers.
BAB VIII.
KETENTUAN PIDANA.
Pasal 19.
Setiap orang atau badan hukum, yang dengan cara apapun, baik langsung ataupun tidak langsung, melakukan atau menyuruh melakukan atau membantu perbuatan-perbuatan di luar hukum yang mempunyai akibat mengurangi/meniadakan jiwa pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang ini, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun.
BAB IX.
PERATURAN PERALIHAN.
Pasal 20.
(1) a. Dalam masa peralihan keharusan mendapatkan Surat Izin Terbit masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh Pemerintah dan D.P. R.-(G. R.).
b. Ketentuan-ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam masa peralihan diatur oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers.
(2) Pemberian bantuan Pemerintah kepada Pers Nasional seperti yang dilaksanakan sebelum Undang-undang ini diundangkan, berjalan terus sampai ada pengaturan baru yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Dalam tempo selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah Undang-undang ini diundangkan, Pemerintah harus sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-undang ini.
(4) Perusahaan Pers yang telah ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini dalam waktu 3 (tiga) bulan sesudah dikeluarkannya Peraturan Pelaksanaan tersebut dalam ayat (3) pasal ini, harus sudah menyesuaikan bentuk pimpinan dan susunan perusahaannya dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, dan sudah mendaftarkan perusahaannya kepada Pemerintah dan Dewan Pers.
(5) Seseorang yang pada waktu Undang-undang ini diundangkan sudah bekerja sebagai wartawan sedikitnya 3 (tiga) tahun, diakui sebagai wartawan.
(6) Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang ini diatur oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers.
BAB X.
PENUTUP.
Pasal 21.
(1) Undang-undang ini disebut Undang-undang tentang Keketentuan-ketentuan Pokok Pers.
(2) Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Desember 1966.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SUKARNO.
Diundangkan di Jakarta.
pada tanggal 12 Desember 1966.
SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1966 NOMOR 40
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1966
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERS.
UMUM.
Penyusunan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers ini didasarkan pada kenyataan sejarah, bahwa Pers Nasional Indonesia sebagai salah satu pencerminan dari pada perikehidupan dan kegiatan bangsa dalam perkembangan masyarakat Indonesia, dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan bangsa secara keseluruhan.
Di samping itu Pers Nasional adalah alat perjuangan yang bersifat aktif dan kreatif, yang dalam perkembangan selanjutnya merupakan pelopor dan pelaksana Revolusi Pancasila.
Tujuan utama dari Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers ini ialah untuk memberikan jaminan hukum kepada Pers Nasional agar dapat menjalankan fungsinya dengan sebaik- baiknya, dan dapat melaksanakan tugas kewajibannya serta menggunakan hak-haknya.
Landasan hukum penyusunannya adalah : Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945, pasal 5 jo. pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945, pasal-pasal 28 dan 33 Undang-undang Dasar 1945, Keputusan Sidang Pers, Ketetapan MPRS No. II/MPRS/ 1960 Lampiran A tentang Penerangan Massa dan Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.
Di dalam Undang-undang ini dicantumkan tentang kebebasan pers, yang menyatakan dan menegakkan kebenaran dan keadilan yang berhubungan erat dengan keharusan adanya pertanggungan jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepentingan Rakyat dan keselamatan Negara, kelangsungan dan penyelesaian Revolusi hingga terwujudnya ketiga kerangka tujuan revolusi, moral dan tata susila dan pertanggungan jawab kepada kepribadian bangsa.
Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 Lampiran A tentang Penerangan Massa dan Ketetapan MPRS No. XXXII/ MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers, maka pembinaan tersebut dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers dalam bentuk Dewan Pers.
Karena pentingnya fungsi Dewan Pers dalam pembinaan Pers maka susunan keanggotaan Dewan Pers ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Kabinet). Demikian pula halnya mengenai persoalan Kantor Berita.
Berdasarkan ketentuan tentang kebebasan pers maka sensor
pers dan pembredelan terhadap penerbitan pers tidak boleh diadakan.
Untuk membina pertumbuhan pers sebagai alat Revolusi Pancasila maka semua penerbitan pers yang bertentangan dengan Pancasila seperti halnya yang bertolak dari faham Komunisme-Leninisme tidak mempunyai hak hidup di Indonesia.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
BAB 1.
Pasal 1.
Alat komunikasi yang tidak bersifat umum misalnya penerbitan-penerbitan khusus keagamaan, keilmuan, kejuruan dan sebagainya tidak dinamakan penerbitan pers. Untuk Kepentingan penerbitan khusus tersebut ada peraturan-peraturannya sendiri.
BAB II.
Pasal 2 dan 3.
Didalam melaksanakan fungsi, kewajiban dan haknya ini Pers Nasional terikat oleh pertanggungan jawab yang ditentukan dalam Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/ 1966 pasal 2 ayat (I) dan (2).
Pasal 4.
Cukup jelas.
Pasal 5.
Cukup jelas.
BAB Ill.
Pasal 6 dan 7.
Pengertian ayat (I ) pasal 6 ini adalah bahwa Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers membina pertumbuhan dan perkembangan Pers Nasional.
Karena Dewan Pers diketuai oleh Menteri Penerangan sebagai ditentukan dalam ayat (1) pasal 7, maka dualisme di dalam pembinaan pers dapat dicegah dan sebagai gantinya adalah kata mufakat yang dicapai sebagai hasil musyawarah di dalam Dewan Pers tersebut.
BAB IV.
Pasal 8.
Penerbitan pers yang bersifat kolektif ialah penerbitan yang dilakukan oleh badan-badan kolektif seperti Partai-partai Politik, Organisasi-organisasi Massa, Organisasi-organisasi Karyawan atau badan-badan kolektif lainnya.
Pasal 9.
Cukup jelas.
Pasal 10.
Untuk kepentingan Pemerintah keseluruhannya dapat diterbitkan satu Harian dalam bahasa Indonesia dan satu Harian dalam tiap-tiap bahasa asing yang dianggap perlu yang dilaksanakan oleh suatu Departemen yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
Penerbitan-penerbitan berkala Pemerintah yang bersifat informatoris dan keahlian dikoordinir oleh Menteri Penerangan.
Pasal 11.
Jika sesuatu penerbitan pers isinya ternyata bertentangan dengan Pancasila, maka sesudah mendengar pertimbangan Dewan Pers, Pemerintah mengeluarkan suatu keputusan untuk melarang kelangsungan terbitnya.
Pasal 12.
Pada asasnya Pers Nasional harus dapat berdiri sendiri, tetapi dalam konstelasi perekonomian negara yang tidak memungkinkan perusahaan penerbitan pers dapat memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan Pemerintah, maka bantuan tersebut diperlukan.
BAB V.
Pasal 13.
Yang dimaksud secara gotong-royong kekeluargaan terpimpin ialah supaya semua unsur yang melakukan produksi, yaitu karyawan pengusaha, karyawan wartawan, karyawan administrasi/ teknik dan karyawan pers lainnya merupakan kesatuan bulat dan bersama-sama melancarkan jalannya perusahaan sesuai dengan asas kekeluargaan tanpa mengabaikan arti pentingnya faktor pimpinan. Ini juga dimaksudkan agar hak milik modal tidak akan memegang peranan yang bersifat menentukan.
Pasal 14.
Yang dimaksudkan dengan aksi-aksi kontra revolusi pada ayat (2) pasal ini ialah aksi-aksi pemberontakan yang dilakukan terhadap Pemerintah Republik Indonesia yang sah. Pasal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang telah mendapatkan rehabilitasi.
Pasal 15.
Hak tolak hanya dapat dibatasi dalam perkara-perkara yang membahayakan keselamatan Negara Republik Indonesia, yang untuk kepastiannya harus dinyatakan oleh Pengadilan.
BAB VI.
Pasal 16.
Persyaratan politis-ideologis berdasarkan Pancasila merupakan persyaratan yang menentukan. Persyaratan kecakapan dan lain-lain disesuaikan dengan perkembangan keadaan.
BAB VII.
Pasal 17.
Upaya dan kebijaksanaan yang ditentukan dalam pasal ini didasarkan kepada pertimbangan keamanan (security) dan memperhatikan asas timbal balik (reciprecity).
Pasal 18.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menertibkan kegiatan wartawan asing di Indonesia sehingga tidak membuka pintu untuk oknum-oknum yang beritikad tidak baik.
BAB VIII.
Pasal 19.
Ketentuan pidana ini dicantumkan dengan maksud untuk lebih memberikan jaminan bagi pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Undang-undang ini.
BAB IX.
Pasal 20.
Seseorang yang pada waktu Undang-undang ini diundangkan sudah bekerja sebagai wartawan sedikitnya 3 (tiga) tahun secara kontinu, diakui sebagai wartawan tanpa mengingat persyaratan kecakapan dan pendidikan.
BAB X.
Pasal 21.
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2815