Masalah yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa arabnya disebut istimna` banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya.
1. Yang mengharamkanUmumnya para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah SWT :
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7).
Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan.
Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah :
Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun `alaih.
Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa.
Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun ...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.
Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.
Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, tetapi tidak seperti zina.
Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.
2. Yang membolehkanDiantara para ulama yang membolehkan istimna` antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah.
Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak.
Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,"Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani".
Ibnu Abbas berkata,"Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (onani).
Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna` adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada.
Sebagaimana dalam firman Allah : "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan" Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah.
Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama syafi`iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan.
Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan keinginan seksual itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min.
Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari).
Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini.
Hukum Menyemir Rambut Dalam Islam
Dalam sebuah riwayat di terangkan bahwa ahlu kitab, Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir rambutnya, karena bagi mereka anggapan seperti itu telah menghilangkan sikap ta’abbudi (peribadatan) dan keberagamaan.
Akan tetapi Nabi Muhammad SAW telah melarang umatnya untuk mengikuti atau taqlid jejak mereka ( yahudi dan nasrani ), karena seorang muslim harus memiliki ciri khas tersendiri, atau identitas seorang muslim, baik lahir maupun batin.
Imam Bukhori telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda;
إن اليهود و النصارى لا يصبغون, فخالفوهم
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.”
Perintah itu untuk istishab (menunjukkan hukum sunnah), dan itu telah dibuktikan oleh perbuatan para sahabat, sebagian menyemir rambutnya seperti Abu Bakar dan Umar, namun sebagian lainnya tidak menyemir rambutnya seperti Ali, Ubay bin Ka’ab dan Anas (Fathul bari, bab al Khidhab)
Bolehkan menyemir rambut/jenggot dengan warna hitam?
Ada segolongan besar ulama yang melarang untuk menyemir rambut menggunakan warna hitam, tetapi sebagian juga mengecualikan ketika dalam keadaan perang demi menggentarkan hati musuh apabila mereka melihat pasukan islam masih muda belia. ( fathulbari)
Bagi orang yang sudah sangat tua, yang seluruh rambut dan jenggotnya sudah memutih semua, maka baginya tidak pantas menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu, ketika Abu Bakar as Shiddiq membawa ayahnya, Abu Quhafah, kehadapan Rasulullah SAW pada hari Fathu Makkah dengan rambutnya sudah memutih bagai kapas, Rasulullah lalu bersabda:
غيروا هذا و جنبوه السوداء.
“Ubahlah(semirlah) rambut putih ini, tetapi jauhilah warna hitam” (Muslim 105)
Disisi lain segolongan ulama salaf seperti Saad bin Abi Waqas, Uqbah bin Amir, al Hasan, Jarir dan Lainnya memperbolehkan menyemir rambut dngan warna hitam. Mengenai masalah ini az Zuhri berkata; kami menyemir rambut kami dengan warna hitam apabila wajah kami masih tampak muda, tetapi apabila sudah mengkerut dan gigi sudah ompong, kami tinggalkan warna hitam itu” (Diriwayatkan oleh ibn Abi Ashim dalam kitab al Khidhab, sebagian di Fathul Bari Takhrij no. 106)
Dalam Hadist yang diriwayatkan Abu Dzarr Rasulullah SAW bersabda:
إن أحسن ما غيرتم به الشيب الحناء و الكتم
“Sesungguhnya sebaik-baik alat yang kamu pergunakan untuk mengubah warna ubanmu adalah katam dan hina” (Tirmidzi)
“katam” ialah pohon di Yaman yangmengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan, sedangkan hina’ berwarna merah.
Bagi sang penulis, menyemir rambut bukanlah sesuatu yang dilarang dalam agama, karena telah terdapat nash atau dalil yang menerangkannya, asalkan sesuai dengan cara dan aturan yang telah Nabi Muhammad SAW ajarkan dan tidak berlebih-lebihan lantaran untuk sombong, riya’ atau pamer dengan segala kemegahannya dan lain sebagainya.
Warna putih (uban) bagi mereka yang sudah menginjak tua, adalah pertanda akan usia yang semakin berkurang, dan selayaknya menjadikan diri mereka untuk selalu ingat akan datngnya kematian, karena ketika kita mati kita akan dibungkus dengan kain yang berwarna putih pula.
Maka slalulah kita ingat mati, agar hidup kita semakin dekat kepadaNYA.
Wallahu a’lam bisshowab…
Cara Ziarah Kubur yang benar dan syar'i
Tata cara ziarah kubur Islami
Solusiislam.com-Akan kita bahas saat ini bagaimana cara yang benar saat kita ziarah kubur, baik itu kuburan wali, orang sholeh bahkan ziarah kubur orang terdekat kita. sebab bisa jadi bagi kita yang tidak tahu tentang cara ziarah yang benar, malah akan menjerumuskan kita kepada kesyirikan.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
"Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, (kini) berziarahlah, agar ziarah kubur itu mengingatkanmu berbuat kebajikan." (HR Al-Ahmad, hadits shahih)
Di antara yang perlu diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:
1, Ketika masuk, sunnah menyampaikan salam kepada mereka yang telah meninggal dunia. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajarkan kepada para sahabat agar ketika masuk kuburan membaca,
"Semoga keselamatan dicurahkan atasmu wahai para penghuni kubur, dari orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam. Dan kami, jika Allah menghendaki, akan menyusulmu. Aku memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan kepada kami dan kamu sekalian (dari siksa)." (HR Muslim)
2, Tidak duduk di atas kuburan, serta tidak menginjaknya Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam :
"Janganlah kalian shalat (memohon) kepada kuburan, dan ja-nganlah kalian duduk di atasnya." (HR. Muslim)
3, Tidak melakukan thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk ber-taqarrub (ibadah). Karena thawaf hanyalah dilakukan di sekeliling Ka’bah. Allah berfirman,
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah, Ka’bah)."(AI-Hajj: 29)
4, Tidak membaca Al-Qur’an di kuburan. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
"Janganlah menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan berlari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah." (HR. Muslim)
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Quran. Berbeda halnya dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca Al-Quran di kuburan adalah tidak shahih.
5, Tidak boleh memohon pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun dia seorang nabi atau wali, sebab itu termasuk syirik besar. Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." (Yunus: l06)
Zhalim dalam ayat di atas berarti musyrik.
6, Tidak meletakkan karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan mayit. Karena hal itu menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani, serta membuang-buang harta dengan tiada guna. Seandainya saja uang yang dibelanjakan untuk membeli karangan bunga itu disedekahkan kepada orang-orang fakir miskin dengan niat untuk si mayit, niscaya akan bermanfaat untuknya dan untuk orang-orang fakir miskin yang justru sangat membutuhkan uluran bantuan tersebut."
7, Dilarang membangun di atas kuburan atau menulis sesuatu dari Al-Quran atau syair di atasnya. Sebab hal itu dilarang,
"Beliau Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mengapur kuburan dan membangun di atas-nya."
Cukup meletakkan sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai kuburan. Dan itu sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ketika meletakkan sebuah batu di atas kubur Utsman bin Mazh’un, lantas beliau bersabda,
"Aku memberikan tanda di atas kubur saudaraku." (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan).
Demikianlah cara-cara berziarah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada kita, selain dari pada itu maka tentu bukan dari ajaran yang dibawa oleh baginda Muhammad SAW.
Hukum Membaca Alfatihah Bagi Makmum Dalam Sholat Jama’ah
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum bacaan al fatihah bagi makmum ketika sholat jamaah.
Sebab perselisihan pendapat tersebut:
-Adanya perbedaan dalam memahami dalil yang keluar mengenai hukum bacaan alfatihah dalam
sholat.
-Adanya perbedaan pendapat diantara para ulama tersebut dalam cara men‘jamak’ (thoriqotul jam’i) antara hadist-hadits nabi yang menyangkut tentang bacaan alfatihah dalam sholat;
- Rosullullah SAW bersabda;
لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب
“tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca alfatihah”
Kandungan hadist ini (setiap orang yang sholat, baik imam, makmum, atau dalam keadaan sholat sendiri maka wajib baginya membaca alfatihah)
- Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ketika Rasulullah SAW selesai dari sholat ‘jahr’ (dengan suara) beliau lalu bertanya: “adakah diantara kalian yang membaca bersamaku ketika sholat tadi?”salah satu sahabat berkata: “saya wahai Rosulullah”.
Lalu Rosulullah bersabda:
إني أقول ما لي أنازع القرآن
“sesungguhnya
Kandungan hadist ini ( bahwa makmum tidak membaca alfatihah dan surat di dua rakaat pertama ketika imam mengangkat suara, dan makmum membaca keduanya dirakaat ketika imam tidak mengangkat suara)
- Rosulullah SAW bersabda:
من كان له إمام فقراءته له القراءة
“barang siapa sholat bersama imam (berjamaah) maka bacaan imam adalah bacaan makmum”
Kandungan hadist: (makmum tidak wajib membaca alfatihah dalam setiap sholat/rakaat)
- Dari Ubadah bin shomad bahwa ketika selesai sholat (ghodat) Rosulullah berkata
إني لأراكم تقرؤون وراء الإمام
“aku mengetahui bahwa kalian membaca (alfatihah/surat) dibelakang imam” sahabat berkata:’benar wahai Rasul’. Lalu beliau berkata:
فلا تفعلوا إلا بأم القرآن
“jangan kalian kerjakan lagi(ulangi) kecuali dalam membaca alfatihah”
Kandungan hadist: (makmum membaca alfatihah di dua rakaat pertama /ketika imam mengangkat suara)
- Allah SWT berfirman;
"وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له و أنصتوا لعلكم ترحمون
- Sabda Rasulullah SAW:
إذا قرأ الإمام فأنصتوا
“ketika imam membaca (alfatihah/surat) maka diamlah”
Kandungan dua dalil terakhir; (makmum wajib diam ketika dia mendengar bacaan imam dan wajib membaca alfatihah ketika tidak mendengar bacaan imam.)
v Perbedaan pendapat para ulama
- Iman Malik berpendapat:
- Diwajibkan bagi makmum membaca alfatihah ketika sholat yang tidak mengangkat suara (dhuhur,asar). Namun tidak diwajibkan membacanya ketika sholat dalam keadaan mengangkat suara (maghrib, isya, dan subuh)
o Dalil yang dipegang;
- Mengkhususkan (takhsis) hadist no: 1 dengan hadist no: 2
- Kemudian menguatkannya dengan ayat al quran/ dalil no: 5
- Imam Abu Hanifah berpendapat:
- Tidak diwajibkan bagi makmum membaca alfatihah ketika sholat berjamaah, baik dalam sholat dengan mengangkat suara (maghrib,isya’ dan subuh) ataupun sholat dalam keadaan tidak mengangkat suara (dhuhur dan asar)
o Dalil yang dipegang;
- Berpegang dengan hadist no: 3
- Imam Syafi’I berpendapat:
- Diwajibkan bagi makmum membaca alfatihah dalam sholat, dalam keadaan bagaimanapun.
o Dalil yang dipegang:
- Mengkhususkan (takhsis) hadist no: 1 dengan hadist no: 4
- Imam Ahmad bin Hambal berpendapat:
- Beliau membedakan antara mendengar bacaan imam dan bagi yang tidak mendengarkan bacaan imam;
o Diwajibkan bagi makmum membaca alfatihah ketika dia tidak mendengar bacaan imam
o Dan tidak diwajibkan ketika makmum mendengar bacaan imam (alfatihah)
o Dalil yang dipegang:
- Berpegang dengan hadist no: 5 dan hadist no: 6
Pendapat paling kuat:
Setelah kita mengetahui beberapa pendapat ulama mengenai permasalahan ini, maka kita dapat mengambil kesimpulan tentang pendapat yang kuat.
Dan menurut penulis, pendapat Imam Syafi’I adalah pendapat yang paling kuat dari beberapa pendapat diatas, yaitu:
- Wajib bagi makmum membaca alfatihah dan surat dalam sholat berjamaah yang tidak mengangkat suara,
- Dan wajib bagi makmum membaca alfatihah saja dalam sholat berjamaah yang mengangkat suara.
- Pendapat ini diperkuat dengan kedudukan alfatihah itu sendiri dalam sholat, bahwa alfatihah adalah salah satu rukun dalam sholat, maka sholat tidak sah kiranya salah satu rukunnya kita tinggalkan. Wallahu’alam bisshowab..
Ditulis oleh “abumujaddid” (tarjamahan dari kitab bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid li ibn Rusyd)
Jual beli yang dilarang dalam Islam
|
Jual Beli |
Islam adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan manusia, tak terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan hukumnya mubahatau boleh, berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil aqli. Allah SWT membolehkan jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya selama hidup di dunia ini.
Namun dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli yang dilarang yang akan kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan ketentuan dalam jual beli, dan tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual beli tersebut dilarang.
Diantara jual beli yang dilarang dalam islam tersebut antara lain:
1, Jual beli yang diharamkan
Tentunya ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika Allah sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya. Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang menjual bangkai, khamr, babi, patung dan lain sebagainya yang bertentangan dengan syariah Islam.
Begitu juga jual beli yang melanggar syar’I yaitu dengan cara menipu. Menipu barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan berkualitas. Ini adalah haram dan dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.
2. Barang yang tidak ia miliki.
Misalnya, seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi barang yang dia cari tidak ada padamu. Kemudian ksmu/ente dan pembeli saling sepakat untuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu barang belum menjadi hak milik ente (kamu) atau si penjual. Kemudian ent pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.
Jual beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang cara berjual beli seperti ini. Istilah kerennya reseller.
Dalam suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm : “Wahai, Rasulullah. Seseorang datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang yang dicari tidak ada padaku. Kemudian aku pergi ke pasar dan membelikan barang itu”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu. [HR Tirmidzi].
3. Jual beli Hashat.
Yang termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan menggunakan undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai dengan undian yang didapat. Sebagai contoh:
Seseorang berkata: “ Lemparkanlah bola ini, dan barang yang terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga sekian”. Jual beli yang sering kita temui dipasar-pasar ini tidak sah. Karena mengandung ketidakjelasan dan penipuan.
4. Jual beli Mulamasah.
Mulamasah artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata:
“Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti sudah menjadi milikmu dengan harga sekian”. Atau “Barang yang kamu buka, berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”.
Jual beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan tentang sifat yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan didalamnya terdapat unsur pemaksaan.
5. Jual Beli Najasy
Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.
Dan Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di dalam hadith:
"Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana (madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim [1413]).
Tentunya masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang dilarang dalam agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk melakukan sholat, khususnya diwaktu jumat setelah adzan kedua sholat jumat, juga menjual barang sebelum diterima, kemudian makelar atau calo yang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga sekarang. Itu semua merupakan jual-beli yang dilarang dalam Islam.
Semoga kita semua senantiasa terjaga dalam bermuamalah dengan sesama, selalu waspada dan berhati-hati dalam bertindak khususnya dalam berdagang. Mari kita mensuri tauladani Nabi kita Muhammad SAW dalam berdagang, beliau selalu dipercayai dalam setiap ucapan, dan perbuatannya.
Sebar kebaikan ini kepada kawan-kawan kita. Semoga bermanfaat.
Penulis: Ust. Abu Syauqie Al Mujaddid (Dewan Pembina Solusi Islam)